Gagasan mengenai White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih) dan kejahatan korporasi pertama kali dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Hal tersebut disampaikan pada pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 pada tahun 1939, yang menyoroti atau menjelaskan perilaku korporasi-korporasi di Amerika yang melanggar hukum. Menurut Edwin H. Sutherland, White Collar Crime merupakan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya. Tindakan kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan profesional, perdagangan, dan juga kehidupan politik.
Pembahasan White Collar Crime dan kejahatan korporasi ini merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan tindak pidana biasa (konvensional). Dahulu, orang hanya terpatri pada pemikiran bahwa pelaku tindak pidana atau kejahatan-kejahatan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang miskin, orang-orang berpendidikan rendah, dari kalangan masyarakat kumuh yang bertempat tinggal di pinggiran kota atau desa dan lain-lain. Melalui gagasannya, Edwin H. Sutherland ingin mengingatkan bahwa pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh individu-individu yang tergolong tidak mampu ataupun yang termasuk golongan rakyat kecil, melainkan individu-individu dari kelompok atas yang kaya dengan kedudukan sosial terpandang juga dapat melakukan kejahatan.
White Collar Crime merupakan pelanggaran hukum positif yang dilakukan sebagai bagian atau terkait dengan jabatan resmi dari pelaku. Pada prinsipnya, perbuatan itu dapat dilaksanakan oleh karena adanya instrumen utama yang melekat pada jabatan yang mengandung kekuasaan dan kewenangan. Dominannya peran jabatan dalam tindak pidana ini menyebabkan pelaku sulit dilacak secara yuridis dibandingkan pelaku tindak pidana lainnya dikarenakan memiliki kedudukan dan kekuasaan. Dengan kekuasaan itu, maka perbuatan yang dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari segi hukum dapt dinilai sebagai dari pelaksanaan fungsi jabatan resminya.
Menurut Laura Snider, White Collar Crime memiliki karakteristik yang membedakannya dengan kejahatan lain. Pertama, pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian yang terkait erat dengan jabatan resmi. Karakteristik lainnya adalah melibatkan pelanggaran kepercayaan yang diberikan karena apa yang dilakukan oleh para pelaku tersebut merupakan violation of public trust, yaitu pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Terakhir, karakteristik White Collar Crime adalah tidak ada paksaan fisik secara langsung serta terdapat usaha untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan dan upaya menggunakan kekuasaan untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum yang berkaitan.
Karakteristik White Collar Crime yang dikemukakan oleh Laura Snider telah menunjukkan bahwa kejahatan orang-orang terhormat dan disegani ini sangat kompleks, sehingga untuk mengungkapkannya diperlukan keahlian yang memadai dari aparat hukum bahkan harus disertai dengan kesungguhan dan keberanian. Selain itu, tentunya diperlukan waktu yang lama dalam proses pembuktian. Kendala penegakan hukum akan menjadi semakin rumit dan kompleks jika individu-individu yang termasuk dalam kelompok White Collar Crime melakukan kejahatannya melalui korporasi.
Kehadiran korporasi dalam era globalisasi dan perekonomian bebas dewasa ini dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi dapat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada sisi lain justru mengancam karena dapat melakukan kejahatan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Korporasi banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan suatu Negara, terutama dalam bidang ekonomi, misalnya pemasukan Negara dalam bentuk pajak maupun devisa, sehingga dampak korporasi tampak sangat positif. Akan tetapi, korporasi juga tidak jarang menciptakan dampak negatif, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi buruh, menghasilkan produk-produk yang membahayakan pemakainya, serta penipuan terhadap konsumen.
Pengertian korporasi berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016, yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berkaitan dengan kejahatan korporasi, pengertian tindak pidana oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 sesuai kutipan berikut:
“Tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan korporasi”.
Sally S. Simpson mengatakan melihat kejahatan korporasi sebagai bagian dari White Collar Crime. Kejahatan korporasi merupakan bagian dari White Collar Crime dalam bentuk yang khusus. Kejahatan korporasi dalam realitas kehidupan masyarakat muncul dalam bentuk kejahatan yang terorganisir atau dilakukan oleh kelompok yang terdiri dari beberapa orang dalam kompleks hubungan-hubungan misalnya antara dewan direksi, direktur eksekutif dan manajer, atau hubungan di antara anak perusahaan, divisi-divisi dalam perusahaan serta cabang-cabang perusahaan.
Dalam White Collar Crime yang melibatkan korporasi, pelakunya bukanlah individu melainkan sebuah korporasi. Dalam hal ini, yang diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Menurut Maman Suparman, dimensi kejahatan korporasi di Indonesia terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai semakin berkembangnya ekonomi Nasional dan Internasional dan juga semakin berperannya korporasi dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi tidak terpisah dengan White Collar Crime. White Collar Crime yang dilakukan oleh korporasi memberikan begitu banyak dampak negatif. Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang sangat membahayakan dengan berbagai bentuk dan dimensi kejahatannya. Pelaku kejahatan korporasi juga sulit dijangkau oleh hukum. Maka dari itu, untuk dapat mengungkapkan White Collar Crime yang dilakukan oleh korporasi diperlukan keahlian, keberanian, kesungguhan, dan konsisten moral aparat penegak hukum. Selain itu, diperlukan adanya pengaturan khusus terkait pertanggungjawaban pidana terkait kejahatan korporasi agar tersebut tidak menjadi hambatan yang menyulitkan proses penegakan hukum terkait kejahatan korporasi.
SUMBER REFERENSI:
Kusumo, Bambang Ali, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia,” Wacana Hukum Vol. VII, No. 2, Oktober, 2008.
Satria, Hariman, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Sumber Daya Alam,” Mimbar Hukum Vol. 28, No. 2, Juni, 2016.
Soemadiharjo, R. Djatmiko, “Keterkaitan White Collar Crime dengan Corporate Crime,” Perspektif Vol. VIII, No. 2, April, 2003.
Komentar
Posting Komentar