Mahasiswa hukum
pasti familiar dengan asas-asas hukum. Theo Huijbers mengatakan bahwa asas hukum
ialah prinsip-prinsip yang dianggap menjadi dasar atau fundamen hukum. Asas-asas
ini lahir dari nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas
ini menjadi landasan dan acuan dalam pembentukan undang-undang, bahkan dalam
melakukan interpretasi undang-undang tersebut.
Contohnya
seperti asas Pacta Sunt Servanda,
asas Lex Specialis Derogat Legi Generali,
asas Lex Superiori Derogat Legi
Inferiori, dan lain sebagainya. Tetapi, dari semua asas yang ada, terdapat
satu asas yang secara eksplisit tertulis di dalam KUHP, tepatnya tercantum
dalam Pasal 1 ayat 1. Asas itu adalah nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau dikenal juga dengan
sebutan Asas Legalitas.
Sebenarnya apa
sih Asas Legalitas itu? Yuk simak penjelasan berikut ini.
Sejarah Asas Legalitas
Asas Legalitas
pertama kali diciptakan oleh Paul Johan
Anslem von Feuerbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam
bukunya Lehrbuch des penlichen recht
pada tahun 1801. Apa yang dirumuskan oleh Feuerbach
mengandung arti yang sangat mendasar
yang dalam bahsa Latin berbunyi “nulla
poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali.”
Ketiga frasa tersebut kemudian melahirkan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.
Karena asas
legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, ada yang beranggapan bahwa rumusan ini
berasal dari hukum Romawi kuno. Padahal, menurut Sahetapy asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa Latin adalah
karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu
itu.
Ada pula yang
berpendapat bahwa asas legalitas seolah-olah berasal dari ajaran Montesquieu yang dituangkan dalam
bukunya L’Esprit des Lois 1748. Menurut Montesquieu,
dalam pemerintahan yang moderat hakim harus berkedudukan terpisah dari
penguasas dan harus menghukum dengan setepat mungkin sesuai ketentuan harafiah
hukum. Hakim harus bertindak berhati-hati untuk menghindari tuduhan tidak adil
terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu
terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Hal ini juga merupakan
tujuan dari asas legalitas, yaitu melindungi individu dari perlakuan
sewenang-wenang pihak peradilan arbitrair,
yang pada zaman sebelum revolusi Perancis menjadi suatu kenyataan yang umum
di Eropa Barat.
Namun, menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa meskipun ajaran Montesquieu mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas,
dalam pelajaran Montesquieu tidak
memuat rumusan asas legalitas.
Jika dikaji
lebih jauh, ruh dari asas legalitas sebenarnya terdapat dalam Perjanjian Baru
yang berisi Injil surat-surat Paulus dan
surat-surat lainnya. Dalam Surat Paulus kepada
Jemaat di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat 13 berbunyi, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa
itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada Taurat.” Berdasarkan Roma Pasal 5
ayat 13 tersebut, jika kita menganalogikan dosa itu sebagai perbuatan pidana,
maka tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya.
Menurt M Shokry El-Dakkak, asas legalitas
dalam hukum Islam secara implisit terdapat dalam Al-Quran, Surat Al Israa’ ayat
15. “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka
perbuatan itu untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, maka ia sendiri
yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.
Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang rasul.” Berdasarkan
ayat tersebut, hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas tetapi juga
memberi dasar bagi asa pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana.
Definisi dan Makna Asas Legalitas
Jonkers menyatakan bahwa Pasal 1 ayat 1
KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu Pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum
lainnya, asas legalitas tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal,
menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukan merupakan peraturan
hukum konkret.
Kiranya
terdapat kesamaan pandangan antara para ahli hukum pidana bahwa pengertian asas
legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. Hal ini
sesuai dengan suatu adagium yang berbunyi non
obligat lex nisi promulgate yang berarti suatu hukum tidak mengikat kecuali
telah diberlakukan.
Makna yang
terkandung dalam asas legalitas secara rinci dikemukakan oleh Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius
yang menegaskan ada tujuh aspek dari asas legalitas. Pertama, tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana
menurut undang-undang. Kedua, tidak
ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga, tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
Pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan
perbuatan pidana.
Keempat, tidak boleh ada perumusan delik yang
kurang jelas atau lex certa. Kelima, tidak ada kekuatan surut dari
ketentuan pidana. Dikenal dengan prinsip non retroaktif dalam ketentuan pidana.
Keenam, tidak ada pidana lain kecuali
yang ditentukan undang-undang. Ketujuh, penuntutan
pidana hanya menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Frasa nullum crimen sine poena legali yang
berarti “ tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang” adalah
suatu kalimat negatif. Jika kalimat tersebut dipostifkan, maka bunyinya “semua
perbuatan pidana harus dipidana menurut undang-undang.” Dengan demikian asas
legalitas berarti bahwa semua perbuatan pidana harus dituntut.
sumber: Buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana karangan Eddy O.S. Hiariej.
Komentar
Posting Komentar