Manusia
dilahirkan ke dunia membawa hak yang melekat dalam dirinya sebagai anugerah
dari Tuhan. Hak tersebut biasa disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak
asasi manusia merupakan milik atau kepunyaan yang bersifat mendasar atau pokok
melekat pada individu sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa (Riswan Munthe,
2015).
Source: Google Images |
Martabat,
kemerdekaan, dan kesetaraan adalah tiga nilai yang mendasari HAM. Sebagai
anugerah dari Tuhan, HAM bersifat kodrati, universal, tidak dapat dicabut atau
dibagi. Melihat begitu pentingnya HAM, hampir seluruh negara di dunia ini
memiliki aturan untuk melindungi hak asasi warga negaranya. Bahkan PBB memiliki
aturan tentang HAM yang termuat dalam Declaration
of Human Rights (selanjutnya disebut DUHAM) yang kemudian melahirkan dua kovenan/pakta yaitu International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) dan International
Covenant Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Namun, meskipun
aturan untuk melindungi HAM sudah dibentuk dengan baik, pelanggaran HAM masih
terus terjadi dan belum mampu di selesaikan. Sebagai contoh, pelanggaran HAM mengenai
Human Trafficking atau perdagangan
orang.
Human
Trafficking merupakan modernisasi dari perbudakan manusia. Korban Human Trafficking biasanya berasal dari
masyarakat ekonomi rendah dan memiliki moralitas serta pemahaman agama yang
kurang. Sasaran utamanya adalah perempuan dan anak-anak sebagai kelompok
rentan.. Korban-korban dipaksa bekerja, dijual untuk kepentingan seks atau
kawin paksa (Riswan Munthe, 2015).
Terkait dengan
permasalahan ini, masyarakat internasional sudah memiliki protokol PBB sebagai
upaya mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan dan
anak-anak. Protokol ini sudah berlaku sejak 25 Desember 2003, bersifat
melengkapi the United Nations Convention
against Transnational Organized Crime.
Definisi Human Trafficking menurut Pasal 3
Protokol PBB, yaitu, “Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau
bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat
atau memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk
tujuan eksploitasi.” (Riswan Munthe, 2015). Human
Trafficking telah terjadi apabila tiga unsur yang dimuat dalam Pasal
tersebut terpenuhi secara kumulatif.
Kasus Human Trafficking ini merupakan ancaman
bagi dunia internasional, terus terjadi dan belum mampu diselesaikan. Di
Indonesia sendiri kasus ini sudah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan
Indonesia sudah mendapatkan pengawasan dari dunia internasional. Menurut kajian
tahunan yang dirilis oleh Kemenlu AS, Indonesia belum mampu memenuhi standar
minimun upaya penghapusan perdagangan oraang, menjadikan Indonesia tetap berada
di Tier II. Posisi ini sudah diduduki sejak tahun 2010, meskipun setiap
tahunnya pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang cukup signifikan
Indonesia bukan
hanya asal utama dan tujuan, melainkan juga tempat transit bagi para pekerja
paksa dan korban perdagangan orang. Pada tahun 2016 pemerintah memperkirakan
1,9 juta dari 4,5 juta WNI yang bekerja di luar negeri kebanyakan berada di negara Malaysia
dan Arab Saudi tidak memiliki dokumen atau telah melewati batas izin
tinggal serta mereka tidak bisa pulang ke
Negara mereka di karenakan terjerat hutang.
Pemerintah di setiap Negara merupakan institusi yang memiliki kewajiban untuk
melindungi dan menegakkan HAM setiap warganya, di atur dalam Universal Declaration of Human Rights. Maka untuk
menyikapi persoalan ini
Indonesia sudah membuat
payung hukum untuk memberikan sanksi kepada mereka yang melakukan
kejahatan ini. Tertuang dalam UU
No.21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Pengesahan UU PTPPO di Indonesia adalah
bagian dari harapan masyarakat dan pemerintah untuk menekan angka pelanggaran
HAM, khusunya dalam Human Trafficking dimana para korban di paksa untuk eksplotasi
seksual dan kerja paksa. Sedangkan upaya pengaturan pemberantasan dan
pencegahan Human Trafficking di dunia
internasional adalah melalui penegakan Protokol Palermo
Namun, meskipun
pengaturan tentang perdagangan orang sudah dibentuk sedemikian rupa, kasus Human Trafficking di Indonesia maupun di
dunia internasional masih belum dapat diselesaikan. Membuktikan bahwa persoalan
ini harus semakin diperhatikan. Pemberian pemahaman kepada masyarakat sangat
diperlukan, bertujuan untuk membuat masyarakat mampu melindungi dirinya sendiri
dari tawaran menggiurkan yang diberikan oleh para pelaku kejahatan perdagangan
orang. Penegakan hukum dari instrumen yang sudah dibentuk sebelumnya pun harus
semakin dipertegas lagi. Pejabat negara maupun pejabat pemerintahan harus
diberikan pengarahan agar bisa lebih peka terhadap persoalan Human Trafficking.
Komentar
Posting Komentar